Kain Tenun Ikat Sumba Timur



Masyarakat  penduduk Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, mengandalkan hidup terutama  dari kegiatan bertani atau beternak. Namun, menenun kain adalah mata pencaharian lain yang tak kalah penting. Kegiatan membuat kain ikat sudah menyatu dengan kesibukan keseharian masyarakat Sumba, khususnya kaum perempuannya. Sehari-hari, para ibu Sumba umumnya melakukan kegiatan menenun kain di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga dan membantu suami bekerja di ladang.



Di Sumba, kebudayaan yang terkait dengan kain tenun ikat telah dikenal sejak ratusan atau bahkan mungkin lebih dari seribu tahun. Secara umum, di sana ada dua jenis pengrajin kain tenun. Pertama, pengrajin yang sepenuhnya menggantungkan hidup sepenuhnya dari kegiatan tersebut; kedua, mereka yang melakukan kegiatan menenun  kain sebagai pekerjaan sambilan.



Pengrajin atau seniman tenun sambilan umumnya adalah mereka yang secara sosial  memiliki fungsi adat dalam masyarakat Sumba, seperti kaum bangsawan (maramba). Walaupun  merupakan hasil kerja sambilan, kain tenun buatan kaum bangsawan Sumba ini umumnya bermutu tinggi karena kain yang mereka buat sesungguhnya bukan barang dagangan. Kaum maramba menenun kain hanya hanya utk disimpan sebag dan hanya digunakan untuk memenuhi keperluan berbagai upacara adat.



Tenun ikat Sumba merupakan bagian dari kebudayaaan batu besar (kebudayaan megalitikum), kebudayaan zaman prasejarah yang masih memiliki banyak pendukung di Sumba. Eksistensi kebuayaan megalitikum masih dapat dilihat dalam upacara pemakaman kaum bangsawanya. Dalam upacara semacam itu, ratusan lembar kain tenun ikat dipakai sebagi penutup jenazah yang akan dimakamkan di bawah kubur batu berukuran besar.



Secara tradisional, kain tenun ikat Sumba dibuat menggunakan zat-zat pewarna alami. Proses pembuatan selembar kain tenun ikat relatif rumit dan memakan waktu cukup lama. Proses pewarnaannya saja bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Selain berkaitan dengan kebiasaan turun temurun, lamanya waktu yang diperlukan juga disebabkan karena jenis-jenis tumbuhan yang menjadi sumber zat warna-warna tertentu hanya tumbuh pada musim-musim tertentu.



Pada musim penghujan para penenun melakukan kegiatan mengikat benang, membentuk motif yang diinginkan, sekaligus menyiapkan bahan-bahan pewarna. Warna merah, misalnya, dihasilkan dari akar mengkudu yang dicampur daun loba. Proses pencelupan (pewarnaan)  baru dimulai pada musim kemarau.



Karena bergantung pada bahan-bahan alami, pilihan warnanyapun terbatas. Warna biru, merah hitam dan kuning, merupakan warna yang biasa digunakan. Proses pewarnaannya relatif rumit dan memerlukan kesabaran. Paling tidak diperlukan empat kali pemrosesan untuk mendapat satu warna yang diinginkan. Setelah proses pewarnaan selesai, ikatan-ikatan dibuka, benang diurai, sebelum proses penenunan dimulai.



Seiring perkembangan zaman, kain tenun ikat Sumba pun bekembang pada  berbagai  aspeknya. Sudah sejak beberapa puluh tahun lalu ia tak lagi hanya diproduksi untuk memenuhi kebutuhan busana dan upacara adat orang Sumba. Kain tentun ikat Sumba juga dibuat untuk memenuhi permintaan pasar  di luar Sumba yang terus tumbuh. Sebagain dibuat untuk para kolektor tekstil, sebagian lagi diproduksi secara lebih massal dan kasar sebagai cendera mata bagi para para wisatawan yang datang ke Sumba atau Bali, tempat dimana kain tenun ikat Sumba yang sudah sohor ke segala penjuru dunia ikut  mengisi toko-toko cinderamatanya.



Para pedagang dan pengrajin  pun mencoba mengikuti selera pasar. Gambar dan ragam hias kain yang mereka produksi dipilih yang dianggap lebih gampang ‘dijual’. Gambar tengkorak yang secara kultural menjadi kebanggaan orang Sumba lambat laun mulai menghilang  dari kain tenun ikat Sumba karena, konon, wisatawan Jepang kurang menyukai gambar ini. Munculnya gambar manusia dalam ukuran besar di kain sumba juga merupakan hasil penyesuaian dengan selera pasar.



Pertanyaan yang mucul adalah, apakah perkembangan yang terjadi dalam dunia pertenunan ikat Sumba sekarang ini berjalan dan menuju arah yang benar, atau sebaliknya, berjalan menuju  arah yang salah dan justtu mengancam kelestarian mengancam eksistensi warisan budaya tersebut.  Juga, apa dan bagimana strategi pemerintah dan para penenun Sumba sendiri dalam usaha membawa perkembangan ini ke arah yang dianggap lebih benar dan bertanggung jawab?





Sumber tulisan: http://fkai.org/tenun-ikat-sumba-warisan-budaya-yang-menembus-zaman/

 endofvid[starttext] belum ada keterangan [endtext]

Tidak ada komentar:

Gambar tema oleh rami_ba. Diberdayakan oleh Blogger.